Skip to main content

Cara Browsing di Internet Tanpa Terlacak Melindungi Privasi | Diego Murdani

Korupsi Pejabat Negara Demi "Balik Modal"


Selama beberapa bulan terakhir ini, masyarakat di Tanah Air mendapat tontonan menarik meski menyayat hati ketika melihat segelintir kepala daerah mulai dari bupati, wali kota, hingga sejumlah mantan pejabat daerah "digusur" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lembaga antirasuah itu, misalnya, memaksa Bupati Subang Imas Aryumningsih untuk merasakan "nikmatnya" ruang tahanan gara-gara diduga keras terlibat kasus korupsi, gratifikasi, atau entah apalagi istilahnya. Imas menyusul dua bupati Subang, Jawa Barat, sebelumnya yang juga harus masuk bui juga gara-gara "uang haram". Belum lagi, Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun yang diduga KPK menerima suap tidak kurang Rp2,8 miliar juga mengalami nasib yang sama.

Padahal, rakyat baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di perantauan sebelumnya sudah mendengar kasus yang menimpa mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho, kemudian mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasarari yang semuanya tanpa terkecuali terlibat dalam dugaan atau disangkakan terkait dengan uang haram.

Kurangkah gaji para pejabat negara itu sehingga harus korupsi? Pada hari Rabu (18-4-2018), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membantah anggapan bahwa para pejabat itu "terpaksa" korupsi karena gajinya kurang. Bahkan. Kemdagri bersafari ke daerah-daerah untuk menunjukkan kepada para pejabat setempat tentang bidang atau area yang rawan korupsi.

Sebelumnya. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan disebut-sebut telah menyampaikan usul kepada Mendagri Tjahjo Kumolo agar gaji semua gubernur, wali kota, dan bupati dinaikkan karena uang mereka "habis" untuk dijadikan "modal politik" sehingga sukses menjadi pejabat negara.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan pernah menyebut-nyebut bahwa tidak kurang dari 18 gubernur serta 75 bupati dan wali kota yang terlibat dalam kasus korupsi. Korupsi itu terjadi karena menurut kajian Kementerian Dalam Negeri memperlihatkan untuk terpilih jadi seorang bupati atau wali kota dibutuhkan dana kampanye tidak kurang dari Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Padahal, harta pribadi mereka paling-paling cuma Rp7 miliar hingga Rp8 miliar Jika ucapan Tjahjo benar bahwa korupsi bukan karena kurangnya gaji, melainkan karena sikap mental oknum-oknum itu, pertanyaan mendasar bagi rakyat adalah kenapa pencurian uang rakyat sampai detik ini masih saja terus terjadi? Bisa saja benar bahwa untuk terpilih menjadi bupati ataupun wali kota harus dianggarkan dana puluhan miliar rupiah, sedangkan harta karun mereka hanya beberapa miliar saja. Kalau sadar diri atau tahu diri, seorang calon wali kota, bupati, atau gubernur tidak akan nekat untuk menjadi pejabat negara kalau memang "logistiknya" tak mencukupi.

Akan tetapi, pertanyaannya adalah kenapa ratusan orang nekat meraih jabatan-jabatan itu? Pada tanggal 27 Juni 2018, akan berlangsung pemilihan kepala daerah serentak di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Ratusan orang berjuang "mati-matian" demi meraih kursi. Apa, sih, harapan mereka? Mereka tentu sangat mendambakan bahwa dirinya akan terpilih menjadi pejabat. Jika sudah terpilih maka gengsinya akan melonjak, mendapat gaji puluhan juta rupiah setiap bulan ditambah dengan berbagai uang jabatan, mobil mewah, rumah dinas yang "aduhai", dan disembah-sembah rakyat. Cukupkah gaji dan tambahan pendapatan lainnya? Sekalipun misalnya mereka mendapat uang Rp100 juta tiap bulannya yang berarti Rp1,2 miliar/tahun dikali dengan masa jabatan yang 5 tahun maka paling-paling ke kantongnya masuk "uang resmi" Rp6 miliar hingga Rp7 miliar. Timbul pertanyaan yang "rada nakal" bagaimana cara "nombok" pengeluaran yang puluhan miliar rupiah itu? Padahal, mereka harus memberi makan keluarganya setiap hari.

"Uang Sampingan" Orang-orang yang nekat maju untuk dalam pilkada ini tentu sudah mengantongi alat penghitung atau kalkukaltor tentang "neraca rugi dan laba" dalam pilkada. Mereka tentu harus optimistis menjadi penguasa daerah. Di otak mereka muncul kalkulasi. Jika sudah menjadi bupati, wali kota, atau gubernur, tentu akan sangat banyak proyek, terutama fisik yang bakal dibangun.

Pembangunan prasarana dan sarana fisik itu misalnya tol dan jalan biasa, jembatan, gedung pemerintah, rumah sakit, sekolah kampus, pembelian alat kesehatan, mulai obat-obatan hingga jarum suntik, dan entah apalagi. Karena setiap tahunnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terus meningkat mulai dari ratusan miliar hingga trilunan rupiah, ditambah lagi anggaran dari pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bantuan sosial, hingga dana taktis pejabat yang jumlahnya sangat "aduhai". Maka, mulai muncul ide-ide "brilian tetapi kotor".

Jika misalnya ada pembangunan jalan, biayanya milaran rupiah dan dan banyak pengusaha amat berminat meraih proyek raksasa ini. Oleh karena itu, tuan bupati, wali kota, hingga gubernur mulai melakukan "pendekatan-pendekatan" terhadap calon kontraktor yang berminat. Bisa saja dilakukan tender. Namun, kegiatan ini bisa "diatur" karena pejabat bisa menentukan pemenangnya.

Pejabat dan calon pemenang tender tinggal merundingkan "uang jasa" atau yang sekarang diberi istilah "fee". Selesaikah persoalan ini? Kalau "kesepakatan" telah tercapai, sang pengusaha mulai menggarap proyek ini. Akan tetapi, karena sebagian uang "sudah disisihkan" untuk tuan pejabat, anggaran riil proyek sudah menciut sehingga tidak ada pilihan lain bagi kontraktor kecuali mengurangi mutu proyek itu.

Jadi, tidak heran jika banyak sekali proyek pemerintah yang cepat sekali rusak, atau bahkan roboh sebelum masa normalnya selesai.

Oleh karena itu, rakyat bisa memahami jika Mendagri Tjahjo mengatakan bahwa korupsi terjadi bukan karena gaji kurang, melainkan karena sikap mental para pejabat yang walaupun cuma segelintir itu telah merusak citra sekitar 4,5 juta pegawai negeri sipil.

Tentu masyarakat Indonesia akan selalu teringat pada pepatah atau pribahasa "karena nila setitik, rusak susu sebelanga".

Maka, kini masyarakat pun berhak bertanya kepada Tjahjo apakah korupsi di lingkungan Kemdagri akan terus dibiarkan? Padahal, jabatan Tjahjo akan berakhir sekitar September 2019, bersamaan dengan selesainya masa tugas Presiden RI Joko Widodo pada bulan Oktober 2019.

Memang ada ide agar modal politik semua calon gubernur, bupati hingga wali kota dikurangi atau "disunat" semaksimal mungkin agar tidak ada lagi kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat daerah.

Pertanyaannya adalah apakah wacana mengurangi "modal politik" itu bisa dibahas hingga dituntaskan serta diterapkan pada masa bakti Kabinet Kerja ini juga? Masyarakat tentu berhak menagih janji kepada Tjahjo. Namun, sanggupkah Mendagri memenuhi harapan, dambaan mayoritas rakyat Indonesia yang sakit hati karena uang rakyat banyak sekali yang dikorupsi. (Arnaz Firman)

Comments

Popular posts from this blog

Stop Work Order Kebun Sawit Cemerlang Abadi

Blangpidie, Aceh, 30/4 (Benhil) - Anggota DPD RI, Sudirman meninjau perkebunan kelapa sawit milik PT Cemerlang Abadi yang ditanam di tanah hak guna usaha (HGU) di Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Minggu. Kedatangan senator asal Provinsi Aceh, Sumatera ke wilayah pedalaman Abdya tersebut untuk melihat langsung kondisi perkebunan kelapa sawit milik PT Cemerlang Abadi yang selama ini dihembus isu lahan HGU ditelantarkan oleh perusahaan. Perusahaan perkebunan kelapa sawit ( Elaeis guineensis ) yang berada di Desa Cot Simantok, Kecamatan Babahrot tersebut terancam tutup lantaran terkendala dengan pemerintah daerah yang tidak bersedia megeluarkan rekomendasi perpanjangan izin HGU. Pemkab Abdya tidak bersedia mengeluarkan rekomendasi perpanjangan izin PT Cemerlang Abadi tersebut dengan alasan lahan HGU yang telah diberikan oleh pemerintah ditelantarkan menjadi hutan belantara oleh pihak perusahaan. Stop work order itu adalah kata yang tepat bagi mereka sepert

Indonesia Harus Siap Hadapi Perang Siber

Jakarta, 19/9 (ProDaring) - Republik Indonesia perlu bersiap-siap dalam menghadapi potensi terjadinya perang siber atau konflik dunia maya karena pada masa ini pertikaian antarbangsa dinilai tidak lagi hanya menggunakan senjata fisik seperti nuklir. "Kita memasuki fase tidak lagi berperang dengan musuh dari luar yang terlihat wujudnya," kata Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dalam rilis di Jakarta, Kamis. Menurut Bambang Soesatyo, saat ini kerap terjadi operasi psikologis dengan berbagai strategi dan menggunakan beragam media sebagai salah satu senjatanya. Selain itu, ujar dia, perang juga tidak lagi melibatkan negara sebagai aktor utama tetapi juga menggunakan lintas aktor dengan spektrum yang lebih luas. Politisi Partai Golkar berlogo pohon beringin rindang itu mengingatkan, maraknya informasi hoaks ( hoax ), pengaburan fakta, ujaran kebencian, hingga pencurian data pribadi merupakan beberapa bentuk konkret perang di masa kini. "Perang digital seperti ini ti

Perusahaan Sawit Tanggulangi Kebakaran Lahan

Sampit, Kalteng, 18/4 (ProDaring) - Perusahaan besar swasta perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, ikut gencar mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. "Tahun 2018 ini kami berharap desa di sekitar perusahaan giat lagi menjaga daerahnya. Bagi desa yang wilayahnya nol atau nihil kebakaran, maka akan kembali kami beri reward, sesuai MoU (nota kesepakatan) pada bulan Juli 2017-Juni 2018 antara pemerintah desa dengan PT Globalindo Alam Perkasa," kata General Manager PT Globalindo Alam Perkasa, Darman di Sampit, Rabu. Darman mengatakan, kegiatan tersebut merupakan bagian dari program Masyarakat Bebas Api yang dijalankan perusahaan mereka sejak beberapa tahun terakhir. Kegiatan ini salah satu bentuk upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya api dan membekali tim balakar desa tentang cara penanggulangan kebakaran lahan dan hutan. Masyarakat diharapkan turut mencegah atau meminimalisir kebakaran, khususnya di wila